Pin

Pada awalnya, setahuku, Mina kecurian. Tidak, ia kerampokan habis-habisan. Tas beserta isinya hilang, padahal itu adalah satu-satunya yang tersisa darinya setelah ia diusir dari kostnya karena menunggak bayaran. Isinya mungkin tak seberapa, tetapi bukankah semua harta kepunyaan seorang janda miskin hitungannya lebih besar jumlahnya dibanding secuil harta orang-orang kaya? Meski demikan, aku yakin, orang-orang kaya itu bukanlah musuh terbesar Mina sekarang. Musuhnya ialah sesama proletar; jelata, yang setega itu merampas miliknya yang paling berharga.

Dua jam kemudian, musuh Mina kembali dengan raut tak puas. Ia menodongkan pisau ke wajah Mina yang sehabis menangis, masih di tempat yang sama tempat ia dijambret. Entah mengapa ia tetap membatu di tempat yang membuatnya jelas-jelas rugi dan dalam bahaya.

“Berapa PIN ATM-mu? Dompetmu kosong.”
Anehnya, Mina menatapnya tanpa rasa takut. Ia menatap tajam sang musuh dengan wajahnya yang mungil tirus karena kurang gizi, menimbulkan efek mata yang seolah-olah hampir keluar.
“Saldo ATM saya kosong.”
‘Tidak mungkin. Bank ini tidak memperbolehkan saldo kosong. Minimal pasti seratus ribu rupiah ada.”
“Baiklah. Memang tinggal segitu sisanya. Jika Mas mau ambil, sudah tidak mungkin kan? Tidak ada gunanya bagi kita. Begini saja, dompet dan tas saya kulit asli. Silakan Mas ambil kalau mau. Itu satu-satunya barang berharga yang saya punya. Tetapi kartu-kartu dalam dompet, tolong kembalikan.”
“Tidak bisa. Kamu pikir saya percaya? Kamu ikut ke ATM, atau saya habisi.”
“Kenapa sih, Mas, harus saya? Saya itu miskin, lho. Mas kan bisa mencari yang lainnya?”
“Jangan banyak omong kamu!”
“Ya sudah kalau Mas ngeyel.”

Mina kemudian beranjak dari tempat itu, mengikuti sang penjambret. Aku tidak bisa menerka apa yang Mina rasakan saat itu. Takutkah? Gentar? Merasa tertantang? Pasrah? Atau ingin mati saja?
Sesampai di ATM, dengan pisau yang sewaktu-waktu mampu menghunus pinggangnya, Mina memasukkan kartu dan mulai memencet-mencet tombol angka.
SALAH.
SALAH.
SALAH.
Terblokir.

“Kamu sengaja ya? Dasar! Tetapi apa kamu pikir saya bodoh mau menghabisi kamu sekarang? Kita ke bank! Mumpung belum jam empat.”
Mina menuruti kata-kata sang penjambret, begitu saja. Tidak membantah, tidak meronta. Ia berjalan di belakang bagai vampir dalam film Mandarin lawas yang telah dikendalikan oleh sang suhu: dungu. Sang penjambret menaikkannya ke motor tanpa memberinya helm. Ia dibawa melewati gang-gang tikus untuk menghindari jalan raya dan kecurigaan orang, apalagi polisi. Bisa saja di antara gang-gang itu Mina diturunkan untuk dibunuh atau diperkosa, tetapi itu mungkin hanya khayalanku yang berlebihan sebagai seorang laki-laki. Bagi penjambret itu, PIN ATM Minalah yang begitu penting.

Mereka tiba di bank pukul 15.15. Dengan gaya seolah mereka berpasangan, Mina digiring menuju meja customer service untuk membuka PIN-nya yang terblokir.

“PIN saya terblokir. Kartu saya kebetulan ada dua, kemudian saya salah mengira kartu mana yang saya masukkan. Bisa tidak dibuka lagi?”
“Bisa saya pinjam identitas Ibu?”

Sang penjambret sungguh lihai memainkan peran di sebelah Mina. Ia mengeluarkan apa saja yang dibutuhkan untuk membuka rekening tersebut dengan sikap yang mesra, seperti suami yang membantu istrinya yang tengah kebingungan. Sesekali dirangkulkannya tangannya, dibisikannya “Tenang, Sayang, pasti akan selamat.” atau “Semuanya pasti baik-baik saja, Ma.”

Akhirnya Mina harus membuat PIN baru. Tentulah tidak boleh tanggal lahir atau hal-hal yang mudah. Sang penjambret tidak begitu memperhatikan, karena setelah menguras uang Mina ia tak peduli lagi dengan ATM tersebut. Sayangnya, PIN tersebut baru bisa difungsikan keesokan harinya.

Kali ini apa lagi?
Kali ini, sang penjambret menemukan sebuah brankas mungil dalam tas Mina. Ia menyadarinya setelah membantu Mina mengeluarkan keperluan identitas dan prasyarat lain untuk membuka PIN. Lagi-lagi, brankas itu terkunci. Penjambret itu bertanya dalam perhentian mereka di sebuah rumah makan. Ia, entah terasuki apa, mentraktir Mina minum es teh.

“Bagaimana cara membukanya? Pasti ada uangnya kan di dalam?”
“Begini,” ujar Mina sambil mengambil sesuatu di tasnya, “ambil kartu ini, masukkan ke lubang kartu, putar kunci ke arah tulisan open, lalu putar nomor-nomor yang ada di koper dengan kombinasi ini. Kebuka kan? Eh…”
“Kok tidak terbuka?”
“Sabar. Saya juga kurang tahu ini. Sudah lama tidak membukanya, sih. Isinya tidak seberapa, hanya untuk cadangan saja.”
“Kalau begitu habis ini kita ke tukang kunci!”
“Terserah Mas sajalah.”

Lalu begitulah, mereka kemudian berputar-putar hingga hari beranjak dari petang menuju malam, mencari tukang kunci. Sesampainya di sana, Mina mengatakan padaku bahwa tukang kuncinya berwajah amat akrab dengan ingatannya, tetapi ia tidak sempat mengingatnya. Jika ingat, ia akan meminta tolong mengenai kondisinya.

“Mas, buka kotak ini! Sekarang, Mas! Saya butuhnya malam ini. Kalau dengan pinnya tidak bisa, buka paksa saja.”
Kali ini sang penjambret tak lagi bermain peran. Ia sudah cukup putus asa dengan buruannya yang ternyata hanya tinggal tulang. Tak berdaging, tak bergajih. Diancam begitu, si tukang kunci tak tampak panik. Dengan tenang ia mencoba segala kemungkinan kombinasi yang bisa ia pikirkan. Terbuka!

Tetapi isinya nyaris nihil, hanya ada empat lembar lima ribuan dalam rupiah dan uang asing satu dollar.
“Sialan! Kenapa kalau kotak ini hanya berisi begini saja kamu memasukkan kode yang rumit, sampai kamu sendiri lupa?”
“Kan sudah saya bilang, saya tidak punya apa-apa. Mas ngeyel sih. Sekarang mau apa? Mau bunuh saya? Di depan orang ini? Mas cari orang lain sajalah.”
“Kita tunggu sampai besok. ATM-mu kan aktif dalam 24 jam.”
“Masih besok sore itu. Mas yakin mau menunggu? Saya juga tidak punya tempat tinggal. Mau menunggu di mana kita?”
“Kita bisa tidur di teras masjid atau balai-balai.”
“Mas ini maunya apa sih?”

Tetapi sang penjambret itu tidak menjawab. Tidak akan menjawab. Juga tidak sempat menjawab.

Tukang kunci tadi tak lupa mengembalikan kotak yang nyaris tak ada harganya itu ke Mina sebelum mereka beranjak mencari tempat untuk ditiduri. Hanya sekian depa dari sana, mereka menemukan balai-balai tak berpenghuni bagai pendopo joglo untuk rebah. Mina bilang ia menyukai tempat tersebut karena ia bisa memeluk saka guru yang kokoh dan memberinya rasa aman. Dalam mimpinya, Mina berubah menjadi Samson yang minta diberi kekuatan terakhir untuk meruntuhkan tempat itu. Ia mampu membunuh sang penjambret dengan menimpakan saka guru-saka guru tersebut ke tubuh sang penjambret yang sebenarnya tak besar.

Ketika terbangun, Mina terkejut. Penjambret itu tidak ada!

Di sebelahnya hanya terdapat barang miliknya saja dan secarik kertas dengan tulisan tangan yang amat akrab dengannya, tetapi entah ditemui di mana:

DIA SUDAH PERGI. SUBUH TADI DIA MELIHAT ADA MANGSA YANG LEBIH EMPUK. SAYA LIHAT SENDIRI DIA MEMBUNTUTI ORANG ITU, DAN YA.. SAYA MEMANG MENGIKUTI ANDA BERDUA. DALAM PERKELAHIAN SETELAH PENJAMBRETAN YANG GAGAL, TAK SENGAJA DIA MEMBUNUH MANGSANYA. SAYA KIRA DIA TIDAK MAU TERLIBAT PEMBUNUHAN, DIA HANYA INGIN MENCURI. SEKARANG DIA KABUR. OH YA, DALAM KOTAK ANDA ITU SAYA TAHU ADA UANG YANG CUKUP. SAYA SEMBUNYIKAN DI BAWAH LAPISAN KAYU AGAR DIA TIDAK TAHU. GUNAKAN PIN ATM. SEMOGA BERHASIL.

Masih dengan keheranan, Mina menuruti kata-kata dalam kertas tersebut. Ternyata yang dikatakan orang tersebut benar: kotak tersebut terbuka dengan kombinasi PIN ATM yang baru. Bergegas, Mina mencari tempat lain untuk sembunyi. Ketika sore tiba, ia memasuki bank yang sama yang ia masuki hari sebelumnya dengan wajah yang tenang dan hati yang kacau. Ia penasaran bagaimana mungkin brankasnya terbuka dengan kombinasi nomor yang sama. Di meja customer service itu sekarang, duduk di hadapannya si tukang kunci.
Selesai.

“HAH? Apa-apaan itu, Paman?”
“Apa-apaan apanya?”
“Kan aku minta cerita bagaimana Paman Ado ketemu dengan Bibi. Di bagian mana ada Paman? Apa hubungannya dengan cerita tadi?”
“Paman itulah customer service sekaligus si tukang kunci.”
“Ceritanya bohong, ah! Mana mungkin Bibi bertemu dengan perampok? Lagipula Bibi kan bukan janda?”
“Lho, tadi kamu bilang ceritanya harus seru. Jadilah Paman adalah pahlawan!”
“Oke. Tetapi aku kan sudah remaja. Buat cerita yang lebih masuk akal lagi, dong. Baiklah, lupakan bagian bohongnya. Di mana letak kepahlawanan Paman? Penjambretnya pergi sendiri kok, tidak Paman bunuh.”
“Paman kan mampu membuka semua PIN Bibimu yang terblokir. Itu lebih penting bagi kepentingan hidupnya yang manapun. Coba, kalau tidak ada uang, dia hidup dari mana. Paman juga memberikan peringatan agar tidak kembali padanya. Bibimu itu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya saja kalau sudah menurut. Dia bahkan tidak menyadari kehadiranku yang berkali-kali muncul dalam hidupnya. Setelah hampir mati gara-gara laki-laki satu itu, baru berpalinglah dia.”
“Oh, hahaha! Aku mengerti. Coba ceritakan versi sebenarnya. Aku mau dengar!”
“Kamu masih terlalu muda. Ini konsumsi dewasa.”
“Ah, Paman! Berhentilah membohongiku.”
“Lho, ada satu hal yang tidak bohong kok mengenai cerita tadi.”
“Apa?”
“PIN ATM Bibimu, yang memang menjadi awal dari segalanya dan kunci keberhasilan kisah kami.”
“Paman tahu?”
“Tentu tahu. Itu tanggal pertama kami kencan, setelah sekian tahun kami saling kenal dan saling tak mengacuhkan.”

Aku mendengar istriku tertawa dari dalam kamar. Ia keluar hanya untuk menyetujui perkataanku sambil tersenyum usil mendengar ceritaku kepada keponakanku yang ini; kali ini “korban” ketiga.

Diterbitkan oleh Keshia Sawitri

Perempuan. Masih belajar menulis, belajar membaca, dan belajar menerima bahwa normal adanya kalau hidup itu tidak normal. Beberapa tulisan saya ada di tautan antologi di sidebar. Sesungguhnya malu juga, tapi tak apalah.

Tinggalkan komentar

merakit arsitektur

sebuah proses mengingat

THE RAW PIECES OF ME

"A glimpse of the raw unfiltered version of me"

Rizki Ramadan

Penulis Kelontong

susurri noctis

Stories, ideas, and unspoken words.

Ruang Sastra

Pusat Dokumentasi Sastra Koran Indonesia

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia