Kambing-Kambing dan Keluarga Buckley

kambing
Jakarta: The Big Village *kambing-kambing ini dipotret di salah satu mall di Jakarta Barat. Sayang tidak ada yang sadar kamera.

Kata teman saya. kumpulan cerpen terbaik ala sebuah koran nasional hingga tahun 2081 tidak akan berubah. Begitu-begitu saja.  Teman saya itu penulis cerpen. Cerpen yang ia buat, jika menyoal mutu, memang tiada dua. Meski begitu, pastilah yang gelap-gelap sureal yang dituturkan. Walau tidak melulu mengenai kematian, ia juga tidak lantas menyasar hal-hal seksual. Lebih jorok kadang memang, seperti proses gangguan pencernaan. Demit memang dia. Untung tampan, meski tak ada untungnya juga karena saya menyukai perempuan. Hanya tak ada untungnya juga jika dia saya bumi hanguskan. Bisa dipanggang habis saya oleh penggemarnya.

“Lantas,” tanya saya di sebuah kota damai yang kadang rawan pembacokan, “bagaimana idemu mengenai cerpen yang tidak begitu-begitu saja? Cerpen-cerpenmu, walau semakin bagus dan semakin sering beredar di media massa, semakin mirip dengan negara luar.”

Lho, bagus ‘kan?”

“Lokalitasmu telah habis ditelan filsuf A dan filsuf B, sastrawan C dan sastrawan D. Walau, kuakui, koran nasional satu itu memang stagnan dalam hal cerpen dan nama cerpenis.”

“Menurutmu aku kehilangan identitas?”

“Mungkin tidak. Mungkin kamu justru menemukan identitasmu di sana. Masalahnya, ide dan gaya bertuturmu jadi repetitif. Itu-itu jua. Kamu akan menyelipkan potongan-potongan kutipan filsafat dan analisis politis sebagainya di kiri kanan naskah. Heroik memang pada awalnya, tetapi kadang mudah ditebak atau malah membingungkan.”

“Membingungkan ‘kan untuk kamu, hahaha. Seperti juga sutradara, mau seaneh apapun film atau aksi panggungnya, yang penting sutradaranya tahu maksud dari adegan per adegan yang ia ciptakan. Aku tahu kok apa yang aku buat. Mengenai mudah ditebak, aku ‘kan juga bukan penulis cerita detektif. Tidak akan ada bedanya kalau plotnya berubah. Yang penting isinya. Isinya!”

“Apakah ada isinya jika hanya mempertanyakan kehidupan dengan gaya yang depresif? Aku lebih suka dengan gaya bertutur yang langsung menuju intinya.”

“Ah, terlalu sederhana!” ujarnya sambil menghabiskan rokok keenam. Ia hendak mengambil batang ketujuh sebelum saya hentikan.

“Sudah menghina, masih merokok pakai uang orang, tahu pula orangnya fobia puntung rokok, asbaknya masih didekatkan. Singkirkan! Ayo kita buktikan serumit apa kebahagiaan tokoh-tokoh cerpenmu.”

Ia tergelak. Pun saya, walau saya tahu memanjakan dia dengan membayari rokok dan kopi adalah awal dari petaka.

“Lantas, apa idemu soal cerpen yang baik?” tanya dia balik.

“Tidak ada. Mungkin secara teknik bisa saja baik, tetapi isinya bisa kosong belaka. Begitu pun sebaliknya. Aku hanya lebih suka sesuatu yang jujur tetapi bombastis. Bisa juga yang memilii akhir yang mengejutkan.”

“Hidup sudah penuh kejutan. Fiksi tidak harus. Setelah berkali-kali baca novel detektif, bahkan kejutannya pun tak berasa lagi ‘kan? Tetapi baiklah wahai Tuan Kritikusku yang kuagungkan, mari kita lihat seberapa piawai kamu mengolah sesuatu yang biasa saja menjadi hal yang bombastis dan jujur, dan ehem, tidak depresif seperti para filsuf dan sastrawan yang kubaca.”

Tantangan pun dimulai.

“Kamu tahu,” kata saya sebelum memulai, “membaca tidaklah hanya dari buku. Keluarlah dari kepompongmu. Jangan seperti hikikomori1) saja kau.”

Ia menjentikkan jari ke arah luar warung kopi ber-WiFi tempat kami berbuih-buih.

“Kalau begitu bacalah situasi dan dongengi aku fiksi yang fantastis. Buktikanlah kalau golongan ceritamu tidak akan pernah masuk kumpulan cerpen terbaik koran nasional itu.”

Setiap kali saya melihat kambing-kambing menyeberangi jalanan perumahan mewah untuk mengais sampah di depan halaman rumah-rumah tersebut, saya selalu ingin melemparkan sekadar dadar jagung2) atau ote-ote3) kepada kawanan mengenaskan itu. Sesungguhnya saya juga sama mengenaskannya. Selepas jam kantor, saya duduk bersantai sore hari di warung kopi murahan yang ber-WiFi di depan rumah bernilai milyaran rupiah. Di depan rumah-rumah tersebut, selokan telah ditutup untuk lahan parkir tambahan, sehingga jika hujan deras sedang birahi maka luapan cintanya akan tumpah ruah ke jalan. Biar demikian, saya punya mobil bekas hasil beli di TVRI yang bisa langsung tancap gas sebelum saya basah kuyup karena warung yang tempias  atau banjir menjebak dan membuat mobil mogok dengan segera. Jika cuaca sore sedang bersahabat, beberapa pendatang yang sering lebih mengenaskan daripada saya; bermotor gagah tetapi banyak hutang dan tinggal di kos bedeng; melakukan hal yang lebih mengenaskan daripada saya. Mereka akan datang dengan suara keras, kadang berhutang, kadang menggodai asisten rumah tangga rumah-rumah mewah, atau menyoraki karyawati yang lewat di jam pulang, tak peduli setertutup apa pakaian para perempuan tadi. Saya pernah iseng melakukannya sekali, dengan alasan sama seperti dengan permainan teman cerpenis tadi: ditantang.

“Mas, dari kemarin diam saja sih? Nggak suka perempuan ya, jangan-jangan,” celetuk salah seorang dari mereka yang diam-diam memperhatikan perilaku saya yang “tidak lazim dan tidak sosial”. Sial! batin saya. Maka, entah dari mana datangnya iblis itu.

“Mbak, pulang ke mana, Mbak? Ayo saya antar. Aih, sombongnya,” begitu saja kalimat itu terlontar kepada seorang karyawati yang lewat, keluar dari mulut saya, membeo dari jungur mereka.

“Mas, kalau nggak bisa sopan sedikit saya sumpahi impoten ya!” semprot perempuan yang biasanya hanya berjalan cepat dalam diam jika lewat depan kami.

Maka habislah saya ditertawakan satu warung kopi. Tambah mengenaskanlah saya. Tetapi dasar bandel, saya tetap tidak pernah pindah tempat, layaknya batas unjuk rasa di Konsulat Jenderal Amerika Serikat yang terletak menjemukan di dalam perumahan mewah lainnya.

Kecuali di bulan keempat tahun lalu, ketika ramai-ramai ada demonstrasi di depan gerbang salah satu rumah mewah sekitar warung kopi. Batas unjuk rasa di Konsulat Jenderal itu tampak akrab di mata saya yang memang bekerja di kompleks yang sama dengan tempat itu.

Penasaran, saya tanya kepada petugas keamanan yang bertugas, “Batas unjuk rasanya dipinjam dari KonJen ya, Pak?”

“Penting ya, Mas tanya begitu di situasi sekarang? Mas tidak lihat bagaimana ricuhnya suasana ini? Mas tidak kasihan melihat tempat tinggal mereka akan dimanfaatkan untuk dijadikan bagian perumahan mewah?” tanya petugas keamanan balik, kesal.

Saya memang tampaknya tidak dapat memahami dengan cepat bagaimana perasaan seseorang atau sekelompok orang dalam situasi macam itu. Saya hanya berusaha jujur dan spontan dalam mengemukakan apa yang menarik dalam pandangan pertama. Tetapi tidak ada salahnya bersikap sopan.

“Lantas Bapak membela siapa? Bapak ‘kan dibayar perumahan ini? Kenapa sepertinya Bapak membela mereka yang demo? Hmm, lalu mengapa juga mereka semua demo di depan rumah ini?”

“Mas ini kalau tidak bisa membantu diam saja, ya!”

Glek.

Mungkin benar kata-kata klise mantan pacar saya, “Kamu nggak peka!”

Perlahan tapi pasti saya kembali ke warung kopi dan bertanya kepada pemilik warung, “Apakah warung ini akan digusur juga?”

“Sudah ganti rugi, kok, Mas. Jumlahnya cukup besar. Buat saya pindah atau tidak, tidak jadi masalah.”

Patah hati tiba-tiba menerpa hati saya. “Lalu orang-orang itu mengapa masih mempermasalahkan tukar guling? Dana ganti rugi mereka dibawa lari lurah seperti kampung sebelah?”

“Bukan itu. Mari saya ceritakan soal kemarahan warga.”

Pada hari Minggu yang terik di saat uang ganti rugi telah diserahterimakan, orang-orang yang tinggal di kawasan petak dengan bangunan semi permanen mengadakan syukuran di depan rumah salah satu warga. Mereka menggelar bekas-bekas spanduk hajatan sebagai alas duduk sederhana. Seorang pemimpin agama diundang untuk memimpin doa. Didudukkannya ia pada satu kursi kecil untuk cuci baju yang goyang-goyang, supaya ia kelihatan lebih tinggi dari umatnya. Mereka tampak ceria walau depan rumah mereka becek. Sampah telah disapu.

Syukuran dan doa bersama di depan rumah petak dengan bekas spanduk memang telah menjadi kebiasaan warga. Lima belas tahun dari kejadian itu, enam belas tahun dari saat saya menceritakan hal ini, mereka mengadakan hal serupa untuk syukuran selapanan4) Thole. Bukan nama sebenarnya tentu.

Lima belas tahun kemudian, depan rumah Thole menjadi tempat untuk syukuran pindahnya mereka menuju tempat yang setidaknya, tidak berukuran tiga kali dua meter.

Pak Derma, pemilik rumah yang didemo (tentu saja saat itu ia masih dicintai warga), turun dari mobil memberikan selamat dan ikut merayakan kesederhanaan itu. Tak ayal, karena ia adalah pemrakarsa pindahnya para warga dari lahan tersebut. Bagi Pak Derma, syukuran itu untuk dirinya sendiri yang telah berhasil membujuk para warga untuk pindah. Uang yang diberikan perumahan memang besar dan adil. Sulit memang pada awalnya untuk membujuk warga, tetapi kini seluruh warga memujinya.

“Thole, Pak Derma datang! Katanya bawa hadiah untuk kita semua. Dibantu Thole turunkan barangnya!” teriak ibunya yang bekas sinden keliling.

“Heh, cepat sana! Pemalas!” hardik bapaknya dari atas kasur yang kapuknya telah mati. Thole hanya menyeringai saja sambil beringsut pergi. Bapaknya masih bersantai rebah-rebah walau tamu telah berdatangan.

Thole membantu Pak Derma dan rekan-rekannya dari perumahan mewah untuk menurunkan barang. Barang elektronik, peralatan rumah tangga yang kecil-kecil, hingga mainan dan pakaian.

“Ini baru sebagian, Thole,” kata Pak Derma, “Kami akan lengkapi kalau kalian sudah pindah ke tempat yang lebih besar. Rasa terima kasih kami kepada sikap warga yang kooperatif sungguh tidak bisa dibalas dengan apapun. Buat kamu saya ada hadiah khusus, ya.”

Thole sekali lagi hanya menyeringai sambil menggumam tak terdengar mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ayahnya sudah berada di belakangnya dan memukul kepalanya, “Bilang terima kasih banyak! Yang keras! Cepat!” Thole mengangguk dan mengucapkan yang diminta ayahnya.

“Jangan begitu, Pak. Thole ini sudah banyak membantu kami,” ujar Pak Derma.

“Anak ini masih cengengesan, Pak Derma. Mohon dimaafkan kalau ada salah,” ujar ayahnya sambil tersenyum mencari muka. Thole segera minta diri.  Remaja tanggung itu seakan ingin menghindar secepatnya dari ayahnya. Pak Derma mengejar Thole yang terburu-buru menuju ke acara syukuran yang baru saja akan dimulai. “Ini Le, buat kamu, dibuka kalau acaranya sudah selesai ya. Kalau bingung, tanya saya atau Boy saja. Boy ada di dalam mobil.” Boy adalah anak Pak Derma. Kebingungan dengan benda balok pipih di tangannya, Thole hanya manggut-manggut saja.

Usai syukuran, Thole membuka hadiahnya. Sebuah tablet. Tanpa ekspresi apapun, ia berjalan menuju mobil Pak Derma yang berisi Boy, mengetuk jendelanya dan menemukan Boy sedang bermain hal serupa. Tanpa menoleh, Boy membuka jendelanya dan berkata, “Mau saya ajari? Sini masuk. Saya malas keluar, panas, debu. Banyak orang-orang yang nggak saya kenal juga. Papa juga sudah kasih kamu pulsa untuk bermain internet‘kan?” Diamnya Thole dianggap sebagai jawaban positif oleh Boy, yang kira-kira masih lebih muda satu atau dua tahun dibanding Thole. Tanpa malu-malu dan tanpa kata, Thole masuk ke mobil Boy, sementara Pak Derma masih sibuk berbicara layaknya motivator dalam misi blusukan-nya ke tempat warga.

Lima hari kemudian, tepat sehari sebelum rencana kepindahan warga, warga kembali berkumpul di depan rumah Thole. Namun, kali ini mereka tidak berdoa dan bersorak sorai. Jeritan histeris memancing para petugas keamanan, lalu petugas medis, hingga penegak hukum untuk datang. Orang tua Thole ditemukan tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya, dengan tubuh yang masih didudukkan di dua kursi plastik milik mereka. Tentu saja Thole ditangkap, sebab ia memegang kepala orang tuanya seperti tak terjadi apa-apa. Seperti ingin memamerkan.

“Usut punya usut,” lanjut pemilik warung kopi, “Thole yang sudah SMP dan tahu sedikit-sedikit bahasa Inggris, suka main-main internet setelah diajari Boy. Saya nggak tahu apa yang diajarkan Boy, tetapi kata Thole kepada polisi, Thole bisa menemukan bacaan dan foto-foto yang kata dia bagus-bagus. Termasuk di dalamnya foto anak perempuan dan laki-laki, yang seperti orang Belanda zaman dulu, sedang  memenggal kepala ibunya lalu minta difoto untuk dipamerkan ke tetangga. Setelah foto itu diambil, katanya dua bersaudara itu menghilang selamanya. Menurut Thole, ya, menurut Thole, foto itu bagus sekali.” Pemilik warung itu lalu mendesah. Saya menggumam.

“Keluarga Buckley,” ujar saya pelan.

“Apa, Mas?”

“Saya tahu foto itu. Foto itu beredar luas di media sosial, Mas, di internet. Itu foto keluarga Buckley. Itu foto bohongan, Mas.”

“Tetapi saya dan warga sempat dilihatkan di kantor polisi, Mas. Sepertinya itu foto asli, Mas, wong kelihatan seperti orang Belanda zaman dulu.”

“Foto aslinya memang zaman dulu, Mas. Tetapi zaman sekarang, semua bisa direkayasa. Di foto aslinya, si ibu tidak dipenggal kepalanya, Mas. Kepalanya utuh dan dia duduk dalam keadaan baik-baik saja. Itu hanya akal-akalan yang punya situs untuk membuat kisah seram. Mungkin supaya banyak peminatnya.”

“Jadi, Thole salah sangka ya?  Kasihan. Sialan, orang-orang kaya itu sudah meracuni kami.”

“Lho, lho, sebentar! Apa hanya itu motivasinya? Siapa tahu Thole memang sudah tidak suka orang tuanya?”

“Huh, jelas ini gara-gara mereka. Mas ini, orang-orang kaya saja dibela. Makanya Mas bisa beli mobil walau mobil tua, tetapi maunya makan di tempat murah seperti ini.”

“Kok jadi marah, Mas? Paling tidak ‘kan saya bayar, tidak berhutang. Tidak merusak sistem apapun. Lihat, di antara mereka yang sedang demonstrasi, berapa banyak yang belum bayar hutang ke Mas, huh?”

Akhirnya kami mengamati mereka sampai bubar. Mereka masih memaki bahwa Pak Derma dan rekan-rekan tak lain adalah malaikat maut yang merusak kedamaian yang mereka telah bangun bertahun-tahun. Akan tetapi, suara-suara warga tidak berpengaruh apapun bagi rumah Pak Derma tetap kokoh dan dingin tanpa nyawa, seperti tubuh orang tua Thole.

Selepas itu semua, pemilik warung berpaling pada saya, sambil mengelap gelas, “Mas mungkin tidak merusak apa-apa, tidak mengambil tanah orang, atau tidak membunuh, tetapi Mas cerewet sekali. Amat sangat cerewet dan tidak melakukan apa-apa.”

“Menurutmu bagaimana?”, tanya saya kepada teman saya yang cerpenis itu, “ceritaku yang terinspirasi oleh kambing lewat barusan?”

“Boleh juga. Cerita pembunuhan memang selalu bombastis begitu. Hanya rasanya masih amat mengandung nilai moral. Ya, masih terasa koran nasional. Terlalu mudah dibaca.”

“Dasar tidak mau kalah! Bagaimana jika harusnya kamu bersyukur, bahwa seandainya cerita itu terjadi, karena itulah kamu masih bisa menghina dina aku di tempat ini. Warung kopi ini tidak jadi pindah, begitu pula dengan warga. Uang ganti rugi sudah tidak bisa dikembalikan. Pak Derma dan rekan-rekan rugi, warga juga kehilangan. Impas.”

“Jadi begitu caramu memaknai ceritamu barusan dan mengakhirinya?”

“Memangnya nilai moral yang kamu bilang tadi apa maksudnya?”

“Kamu mengawali cerita itu dengan mengatakan, setiap melihat kambing di perumahan mewah ini, ingin melemparinya satu dadar jagung atau ote-ote. Bisa saja memang itulah kelas mereka, kelas para kambing. Jangan diberi yang lebih dari yang mereka bisa cerna. Mungkin kamu bisa mengakhiri cerita itu dengan kalimat macam begini. ‘Mirip seperti yang dikatakan kitab suci, pada kasus ini, jangan melemparkan almond crispy cheese5) kepada kambing, karena ia akan mengoyak-oyakkannya.’”

“Wow! Dasar kau, cerpenis miskin pemihak kaum kapitalis berkedok sosialis!” ujar saya sambil melempar kambing yang lewat dengan sebuah ote-ote.

Keterangan:

  1. Istilah Jepang untuk menyebut fenomena tentang orang-orang yang menyendiri dan mengisolasi diri dari lingkungan di sekitarnya dengan menolak keluar dari rumah, dengan periode kira-kira enam bulan atau lebih.
  2. Istilah Jawa Timur untuk bakwan jagung
  3. Istilah Jawa Timur yang digunakan untuk gorengan yang disebut bakwan di Jawa Tengah
  4. Peringatan 35 hari umur bayi di Jawa
  5. Oleh-oleh renyah terbuat dari almond dan keju dari Surabaya dengan harga minimal Rp45.000,00 per bungkus

Diterbitkan oleh Keshia Sawitri

Perempuan. Masih belajar menulis, belajar membaca, dan belajar menerima bahwa normal adanya kalau hidup itu tidak normal. Beberapa tulisan saya ada di tautan antologi di sidebar. Sesungguhnya malu juga, tapi tak apalah.

Tinggalkan komentar

merakit arsitektur

sebuah proses mengingat

THE RAW PIECES OF ME

"A glimpse of the raw unfiltered version of me"

Rizki Ramadan

Penulis Kelontong

susurri noctis

Stories, ideas, and unspoken words.

Ruang Sastra

Pusat Dokumentasi Sastra Koran Indonesia

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia