Perkara Bersyukur Kaum Menengah yang Ruwet: Eksploitasi Sobat Kismin dan Uneg-Uneg Lainnya

Me, exploiting others for my content

Beberapa saat yang lalu, ada selebtwit yang juga penulis, marah-marah karena ~ karena banyak hal. Serius, kenapa sih dia jadi pemarah selama setahun dua tahun belakangan ini? Padahal di Instagram kelihatan bahagia sama pacal balu. Hahaha. Namun, yang paling akhir ini, yang menjadi perbincangan banyak pihak adalah, dia marah-marah karena merasa bahwa harusnya kaum middle-class di Twitter tidak bercanda bahwa mereka (erhm, kami?) “sobat kismin”. Soalnya, bagaimana dengan nasib orang yang benar-benar miskin? Yang tidak punya hape? Orang miskin jangan jadi becandaan. Intinya gitu.

Bahwa saya setuju agar manusia-manusia urban tidak menyebut diri miskin ketika tidak bisa beli tiket konser atau duit habis untuk beli skincare mahal atau tidak bisa makan siang 50ribu rupiah satu porsi, benar. Tapi saya sendiri agak geli dengan beberapa fakta di lapangan akan kaum middle-class (katanya sih middle-class tapi gaji mepet UMR ya banyak, wkwk) yang sebenernya punya perjuangannya sendiri untuk hidup.

Ada selebtwit lain yang membuka DM untuk membuat pengakuan finansial. Walau yang DM adalah orang-orang yang punya ponsel dan Twitter serta tingkat pendidikan yang lumayan, toh banyak juga yang terlilit masalah keuangan. Tidak jarang, itu bahkan bukan salah mereka.

Teman saya ada yang ketipu sampai itungan M dan sekarang baru mulai usaha lagi, ortu teman saya juga ketipu dan akhirnya teman saya turun tangan, temannya teman saya dirumahkan oleh perusahaan penerbangan yang kelihatan mapan, temannya teman saya ada yang bisnisnya sedang surut. Banyak. Banyak lagi.

Saya agak kesal ketika orang sedang punya masalah, bukannya diberikan empati malah semacam disuruh “bersyukur”. “Tuh liat ada yang lebih miskin. Ga boleh ngaku-ngaku miskin Anda. Ga boleh ngeluh.” Hmm, lha gundulmu.

Memang benar, bahwa mungkin dengan latar belakang yang kami miliki, lebih mudah untuk mencari penghidupan layak ke depan. Banyak yang bisa dilakukan karena kesempatan lebih besar. Akses atau yang disebut dengan istilah uwu sekarang, “privilege“, lebih luas terbentang.

Tapi tidak tertutup kemungkinan tiba-tiba jadi keluarga Cemara kan? Tentunya, kita pengennya seperti keluarga di film OKB. Akan tetapi, ya kadang malang tak dapat ditolak.

Sudah jatuh, ngeluh ngga boleh, ngga berhasil dibilang malas, depresi dan cemas dibilang kurang iman, menertawakan diri sendiri (yang konon katanya coping yang cukup sehat) sebagai “sobat kismin” juga ngga boleh, wkwkwk, hade hade.

Mengutip Mas Adjie Santosoputro, menggunakan orang yang “lebih tidak beruntung” daripada kita (menurut mata kita, misal lebih miskin, padahal ya mungkin mereka lebih bahagia) sebagai “sarana” bersyukur adalah bentuk kesombongan. Saya antara setuju dan tidak setuju sih dengan poin ini.

Buat saya, urusan bersyukur itu urusan pribadi. Seandainya caranya demikian, selama tidak mengganggu orang lain (ngajakin orang lain punya persepsi yang sama) atau tidak dijadikan konten sosmed biar si pengunggah jadi viral (postingan dengan caption macam: “Lihatlah adik ini. Usia sekecil ini sudah bekerja keras, hujan-hujan. Kita seharusnya malu kalau kurang bersyukur.”), ya nggak apa-apa kan? Saya nggak mau untuk urusan apa yang ada dalam hati (motivasi intrinsik) diharuskan mengikuti pakem tertentu. Tulus atau tidaknya seseorang kan ya ngga bisa diatur juga.

Yang jadi masalah soal hal ini, buat saya (buat saya lho ya) :

1. Tidak terdengar empatik kalau Anda terapkan ke orang lain. Kalau Anda ngajak-ngajak orang bersyukur dan si orangnya lagi ada masalah, terus bilang, “Kamu harusnya bersyukur tu ada yang lebih ga beruntung dibanding kamu”, niscaya teman Anda akan lebih suka curhat pada laman-laman konseling online. Iya bagus kalau konseling online. Kalau jadi anonymous sender ke akun-akun mesum di Twitter yang berkedok mengayomi kan gawat.

2. Eksploitasi manusia lain sebagai konten. Hal seperti ini punya dua sisi. Di sisi satu, berkesan peduli sama wong cilik. Misal, seorang anggota anti SJW-SJW club suka menyindir SJW di circle lawannya yang membawa-bawa HAM yang tidak terpenuhi bagi korban penggusuran tapi melupakan bahwa medianya mendukung pabrik semen, lalu si anti SJW-SJW club itu membalas dengan, “Bagaimana dengan ibu-ibu Kendeng?” Lha, situ juga bawa-bawa penderitaan orang lain, kok. Sami mawon kan di sisi lain. Hahaha. Sama-sama jadiin konten, dah.

Perkara selebtwit di atas juga mirip. Seolah peduli sama orang yang sungguh-sungguh kurang daripada kita, tapi sebetulnya ya jadi konten lumayan juga kan akhirnya buat dia. Hahaha. Ya mungkin di belakang kita, dia menyumbang untuk orang-orang yang kurang beruntung. We never know. Tapi ga perlulah marah-marah sama kaumnya sendiri yang mungkin memang lagi bermasalah dan butuh coping humor. Lagipula, FYI aja nih Bang, dulu saya tinggal di dekat kost yang slum (dinding triplek, halamannya langsung tanah, sekeluarga tinggal di kamar sempit) tapi motornya bagus-bagus, punya hape juga. So, kemiskinan punya banyak rupa, jika Anda mau berbicara ATAS NAMA saudara-saudara kita yang ANDA ANGGAP miskin itu tadi. Kemiskinan pun ada yang sifatnya struktural.

Soal eksploitasi ini saya jadi ingat perkara fotografi dan etikanya. Kapan-kapan kalau ingat mungkin akan saya tulis lebih panjang. Intinya dulu ada keributan soal fotografer yang berfoto dengan orang Papua di sebuah festival terus kata “woke netizens” itu bagian dari neo-kolonialisme dan eksploitasi orang-orang indigenous bla bla bla. Saya ngobrol sama suami dan akhirnya nonton dokumenternya Sebastiao Salgado, fotografer yang fotonya magis-magis dan mengangkat isu sosial. Buat saya, Salgado tidak mengeksploitasi penderitaan orang, sebab dia tinggal di sana selama beberapa waktu, menjadi bagian dari komunitas-komunitas tersebut, dan itu semua masuk dalam jurnalisme. Orang jadi tergerak dan pesannya sampai. Mungkin dia jadi lumayan kaya karena itu juga, wong sekarang punya hutan, tapi ya tapi ya ~ itu bukannya punya bapaknya ya? Eh iya ngga sih? *males gugel

Hal itu menurut saya berbeda dengan yang sekedar memotret lalu dijadikan konten agar viral. Pakai ditambah-tambahi narasi penderitaan dan supaya jadi bersyukur pula. Jujur saya agak kurang sreg dengan foto candid ojek payung yang beberapa hari ini beredar. I ain’t gonna judge it, tho. To each his/her own.

Saya juga kurang paham sebetulnya mau dibawa ke mana arah Sexy Killers dan sorotan mengenai dampaknya kepada manusia di sekitarnya, tetapi menafikan pendapat lain dari pihak terkait langsung yang mengatakan segala sesuatunya ada dua sisi. Yakinkah ini hanya agar masyarakat bergerak untuk hemat listrik dan menghasilkan ETB? Atau ada agenda lain yang dibawa, dengan menggunakan narasi orang-orang yang tertindas? Lagian jan-jane yo filme ora marai aku bereaksi piye-piye ig.

3. Sudah nyalahin middle class, ga nyumbang, ga jadi aktivis, ga suka konsep charity, nyacat pula kalau ada yang nyumbang. Buat saya ini termasuk yang paling njengkelin. Tanda tangan petisi di change atau amnestyinternational, dicacat. Charity di kitabisa / gofundme / lewat lembaga lain, dicacat. Katanya nggak menyelesaikan persoalan di akarlah, nggak memahami kemiskinan struktural lah. Ya memang, tapi iki wonge wis arep mati. Wonge wis nganggo BPJS tapi kurang. Wonge wis arep ora sekolah. Wonge wis terancam macem-macem opo yo arep ngenteni gerakan revolusi sosial, huh?! Monmap Anda bacot. Aku yo rak patek seneng ndelok nyumbang dipamerke, again, untuk konten (bahasa macam apa ini). Akan tetapi, mbok yao to, kalau memang bisa membantu orang saat benar-benar butuh, mbok biar. Kalau ngga setuju atau ngga bisa nyumbang ya udah, ngga usah dicacat. Tapi ya, itu tadi, to each his/her own. Aku yo mung iso nyacat kelakuan wong sing rak tak senengi kok. Hehehe. Sami mawon.

Terakhir, uneg-uneg ini akan ditutup dengan bagaimana saya ingin menyikapinya:

1. Anda mau bersyukur dengan cara apapun, silakan. Tapi kalau bisa ndak usah ndak empati dan menghakimi orang yang cara bersyukurnya berbeda dengan Anda.

2. Kalau lagi ngga bisa bersyukur dan ingin menggugat Tuhan dan nasib Anda, nggak apa. Manusiawi.

3. Kalau Anda bisa menertawakan diri Anda, nggak apa. Kadang itu justru sehat.

4. Mau tetap menjadikan orang lain sebagai konten ya nggak apa. Saya juga masih sering, sih. Di atas ini kan ya kisah orang terus saya jadikan konten. Hahaha. Ini tadi cuma pengeluaran kejengkelan aja. Oh ya, dan saya bukan orang yang baik pula jadi mungkin sebaiknya cara saya ya gak bisa diikutin juga. Toh siapa saya ini. Kenapa? Cek di poin terakhir.

5. Waktu si selebtwit/penulis di paragraf pertama pos ini tadi marah-marah, saya udah jengkel dari kasus sebelum ini. Memori saya jahat, tauk. Hahaha. Jadi waktu puasa setahun atau dua tahun lalu, dia bikin “acara” lapor baca selama bulan puasa. Jadi followersnya baca apa aja niy selama 30 hari terus difoto dan dilaporkan di Twitter. Bagus kok biar ada kegiatan berguna pas puasa. Nah terus salah satu followersnya bilang, “Kok ngga baca Al-Quran aja Kak laporannya?” Instead of explaining to her kindly (apalagi pas bulan puasa ya), dia malah jawab (di-RT quote pula), “Goblok!” Memang setelah itu dia menjelaskan bahwa dia ngga suka kalau orang memamerkan ibadahnya. Biar jadi urusan pribadi. Tapi tetep dong ngagetin. Nah yang bikin agak anu adalah, beberapa setelah itu dia bilang kalau dia mempelajari Al-Quran karena selama ini merasa kurang mempelajari agama. Bagus dong ya. Tapi habis itu dia pamer ayat-ayat di linimasa. Aku: “Lho katanya kemarin nggak usah pamer-pamer. Piye sih?”

Saya tahu seharusnya saya asertif di depannya dia aja langsung. Tapi memang saya pasif agresif tingkat dewa. Maafkan aku, Bang / Dek / apapun. Hahaha. Karena habis itu dia saya mute, jadi ngga tau kan apa lagi yang terjadi. Kejadian di atas saya tahu karena seliweran di linimasa.

Nah pas kejadian dia marah-marah soal kemiskinan tadi, saya pas lagi ngga punya pemasukan dua bulan. Nulis ngga jelas diterima engga, kalah, ngelamar ke situs freelance aja ditolak, masukin lamaran freelance untuk kerjaan psikologi malah pada batal, dll. Rasanya semua usaha saya gagal semua, ada masalah akademis dll. Akhirnya karena saya merasa lagi jadi sobat kismin beneran terus jadi sensitif (jarang-jarang lho saya sensitif, biasanya nggak peka kata orang), wkwk, saya pun berjualan beberapa baju dan buku bekas kolpri termasuk kumcernya dia. Jujur, saya paling semangat jual kumcernya dia dibanding yang lain. Ya yang lain karena BU aja.

Dalam hatiku yang busuk ini:
“Nyoh kono tak dol kowe soale aku lagi kere. Jare rak entuk ngomong kere. Oke, aku akan berusaha, termasuk ngedol awakmu. Nek koyok ngene iki piye, huh?”

Puji syukur ya sudah ada yang beli kumcernya dia tersebut. Hahaha.

Kandhani to aku ki dendaman. Hahaha.

Sekian.

Akhir kata, mohon maaf ya, seandainya ada pihak yang tersinggung . 😝

Diterbitkan oleh Keshia Sawitri

Perempuan. Masih belajar menulis, belajar membaca, dan belajar menerima bahwa normal adanya kalau hidup itu tidak normal. Beberapa tulisan saya ada di tautan antologi di sidebar. Sesungguhnya malu juga, tapi tak apalah.

Tinggalkan komentar

merakit arsitektur

sebuah proses mengingat

THE RAW PIECES OF ME

"A glimpse of the raw unfiltered version of me"

Rizki Ramadan

Penulis Kelontong

susurri noctis

Stories, ideas, and unspoken words.

Ruang Sastra

Pusat Dokumentasi Sastra Koran Indonesia

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia